preload

MAKALAH HUKUM

Published in:
I. Pendahuluan
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
II. Pengertian
Perkawinan, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan adalah sebuah lembaga suci yang mempertemukan dua insan berbeda. Selayaknya sebuah lembaga, perkawinan rupanya mempunyai aturan-aturan.
Perkawinan Perdata, ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan ( Pasal 26 BW)
Dengan demikian, bersifat YURIDIS karena sahnya perkawinan jika syarat – syarat menurut UU (KUHPer) dipenuhi.
Artinya, bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat – syarat yang ditetapkan dalam KUHPer dan syarat – syarat peraturan yang dikesampingkan.
Menurut UU NO.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hukum perkawinan diciptakan untuk menjaga sebuah lembaga perkawinan. Perkawinan di Indonesia.
Pada undang-undang, disebutkan bahwa siapa pun yang ingin menikah harus melengkapi syarat-syarat hukum yang berlaku. Bila tidak, pernikahan akan dinyatakan tidak sah menurut hukum. Hukum perkawinan sangat berlandaskan pada agama. Boleh tidaknya seseorang menikah dengan orang yang berbeda agama, bergantung pada aturan yang berlaku di tiap-tiap agama.
A. Syarat-syarat Perkawinan:
Syarat-syarat untuk dapat sahnya perkawinan, ialah :
a. kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetap- kan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun dan untuk seorang perempuan 15 tahun;
b. harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
c. untuk seorang perempuan yang sudah pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan pertama;
d. tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua pihak;
e. untuk pihak yang masih di bawah umur, harus ada izin dari orang tua atau walinya.
Undang-undang milik negara Indonesia yang mengatur perkawinan menjelaskan secara gamblang mengenai semua hal yang berkaitan dengan perkawinan. Undang-undang tersebut mengatur perkawinan secara luas, tidak hanya mengaturnya dari satu sudut pandang agama.
Pelanggaran terhadap Pasal 27 KUHPer, dapat dikenakan pidana sesuai dengan Pasal 279 KUHPidana, yang berisi bahwa seseorang dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun apabila ia mengadakan perkawinan padahal masih terikat pada perkawinan sebelumnya yang menjadi penghalang yang sah untuk perkawinan yang baru. Dan apabila menyembunyikan perkawinan baru tersebut maka dapat dikenakan pidana penjara selama 7 tahun. Ketentuan perkawinan yang tertera dalam undang-undang menyebutkan bahwa dalam sebuah pernikahan, pada dasarnya, suami atau isteri hanya boleh memiliki pasangan satu orang. Bila salah satu pihak menginginkan memiliki pasangan lebih dari satu, syarat yang harus dipenuhi untuk diajukan kepada pengadilan adalah sebagai berikut.
1. Adanya keterangan yang menyatakan bahwa istri atau suami tidak dapat menjalankan kewajibannya.
2. Suami atau istri cacat badan dan tidak dapat disembuhkan.
3. Khusus bagi wanita, tidak dapat mempunyai keturunan. Namun, itu pun harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter bersangkutan.
4. Harus ada surat persetujuan dari pihak yang ditinggalkan.
5. Harus ada surat keterangan dari pemohon mengenai kesanggupan untuk menjamin kebutuhan pasangan serta anak-anak keturunannya.
6. Harus ada surat yang menyatakan bahwa pemohon akan berlaku adil kepada yang ditinggalkan.
Bila semua persyaratan tidak dapat dipenuhi, pengadilan secara otomatis tidak dapat mengabulkan pengajuan pemohon. Ketentuan yang dituliskan dalam Undang-undang Perkawinan juga berkenaan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika seseorang akan melangsungkan pernikahan. Syarat-syarat tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Perkawinan baru bisa dilaksanakan apabila kedua belah pihak mempelai telah setuju.
2. Usia calon mempelai yang dirasa pantas melakukan perkawinan oleh undang-undang perkawinan adalah 21 tahun. Bila kedua mempelai belum memasuki usia tersebut, syarat perkawinan harus dilengkapi dengan surat izin dari kedua orang tua.
3. Jika wali kandung dari kedua belah calon mempelai telah meninggal, perwalian diberikan kepada pihak kerabat yang lebih tua dan masih satu keturunan dengan pihak mempelai.
4. Perkawinan akan mendapatkan izin dari lembaga perkawinan bila mempelai pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.
Undang-undang perkawinan juga mempunyai aturan yang mengharamkan terjadinya perkawinan. Perkawinan akan tidak sah atau haram bila dilakukan oleh anggota keluarga yang masih memiliki pertalian darah, baik langsung maupun tidak langsung. Semua aturan mengenai perkawinan ditetapkan secara gamblang oleh hukum perkawinan di Indonesia.
B. Akibat perkawinan terhadap diri sendiri
Hak dan Kewajiban suami istri dalam KUHPer :
1. Pasal 103 KUHPer, harus setia – mensetiai dan tolong menolong
2. Pasal 105 KUHPer, suami adalah kepala rumah tangga, suami wajib memberi bantuan kepada istri/mewakili istri di pengadilan, suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya, suami harus mengurus harta kekayaan sebagaimana seorang bapak rumah yang baik dan bertanggungjawab atas segala kealpan dalam pengurusan tersebut, suami tidak diperbolehkan memindahtangakan/membebani harta kekayaan tak bergerak milik istri tanpa persetujuan istri
3. Pasal 106 KUHPer, istri harus tunduk dan patuh pada suaminya
4. Pasal 107 KUHPer, suami wajib menerima diri istrinya dalam rumah yang didiami, suami wajib melindungi dan memberi apa yang perlu dan berpautan dengan kedudukan dan kemampuannya
5. Pasal 108 KUHPer, istri tidak berwenang untuk bertindak dalam hukum
6. Pasal 110 KUHPer, seorang istri tidak boleh menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya
Hak dan Kewajiban suami istri dalam UU No.1 Tahun 1974 :
1. Pasal 30, suami istri wajib menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat
2. Pasal 31
-ayat 1, hak dan kedudukan suami istri seimbang
-ayat 2, masing – masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum
-ayat 3, suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga
3. Pasal 32, suami istri harus mempunyai tempat kediaman tetap yang
ditentukan suami istri bersama
1. Pasal 33, suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin
2. Pasal 34, suami wajib melindungi istri, memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuan, istri wajib mengatur urusan rumah tangg sebaiknya, jika salah satu gagal/melakukan kewajibannya maka dapat mengajukan gugatan pada pengadilan
C. Akibat perkawinan terhadap harta benda suami istri
Menurut KUHPer adalah harta campuran bulat dalam pasal 119 KUHPer harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama meliputi seluruh harta perkawinan yaitu :
1. Harta yang sudah ada pada waktu perkawinan
2. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
Namun, ada pengecualian bahwa harta tersebut bukan harta campuran bulat yaitu apabila terdapat :
1. Perjanjian kawin
2. Ada hibah/warisan, yang ditetapkan oleh pewaris Pasal 120 KUHPer
Menurut Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974, yaitu :
1. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan
2. Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan. Penguasaannya tetap pada masing – masing suami istri yang membawanya ke dalam perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan lain.
D. Akibat perkawinan terhadap anak keturunan (Pasal 250 KUHPer)
Pasal 250 KUHPer, Tiap – tiap anak yang dilahrikan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya (tentang anak sah)
Anak sah menurut Pasal 42 UU No.1 tahun 1974, adalah :"Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah"
Penyangkalan anak dapat dilakukan menurut Pasal 251 – 254 KUHPer, jika :
1. Dilahirkan sebelum 180 hari sejak saat perkawinan
2. Jika masa 180 + 300 hari, belum pernah berhubungan tetapi istri melahirkan
3. Istri melakukan perzinahan
4. Anak dilahirkan setelah lewat 300 hari, keputusan hakim sejak perpisahan meja dan tempat tidur
Penyangakalan anak,
1. Dilakukan oleh suami sendiri, maka :
a. Satu bulan ia berada di tempat
b. Dua bulan sesudah ia kembali dari bepergian
c. Kehadiran disembunyikan dua bulan
2. Dilakukan oleh ahli waris suami, setelah 2 bulan suami meninggal
Pembuktian anak yang sah, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dua akte, yaitu :
1. Akte perkawinan, milik ibu
2. Akte kelahiran, dari ibu mana anak tersebut dilahirkan
Selain itu, dapat dilakukan pembuktian langsung/nyata yaitu :
1. Memakai nama keluarga Ayah
2. Masyarakat sekitar mengakui
3. Ayah memperlakukan baik keluarga lainnya
Anak diluar kawin/natuurlijk kind apabila diakui melalui akte pengakuan anak maka akan menimbulkan hubungan hukum dengan suami/istri yang mengakui. Apabila tidak diakui maka tidak ada hubungan hukum.
Kekuasaan orang tua / Ouderlijke Macht
Kekuasaan orangtua meliputi dua hal, yaitu :
1. Diri anak ; kebutuhan fisik anak
2. Harta anak ; pengurusan harta sang anak
Sifat kekuasaan orangtua menurut KUHPer adalah kekuasaan kolektif yang dipegang oleh Ayah
Sifat kekuasaan orangtua menurut UU No. 1 tahun 1974 adalah kekuasaan tunggal yang ada pada masing – masing pihak ayah dan ibu
Pencabutan kekuasaan orangtua dapat dilakukan (Pasal 49 UU No.1 1974), apabila :
1. melalaikan kewajiban sebagi orangtua
2. berkelakukan buruk
3. Dihukum karena suatu kejahatan
E Akibat perkawinan yang lain
Mengenai hubungan darah adalah sebagai berikut :
1. Anak terhadap orangtua. Anak yang sah mempunyai hubungan darah yang sah baik dengan ayah maupun ibunya
2. Anak terhadap ibunya (Pasal 280 KUHPer dan UU No. 1 tahun 1974). Menurut KUHPer, anak diluar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ibu apabila sang ibu mengakuinya.
Menurut UU No. 1/1974, setiap anak secara otomatis mempunyai hubungan darah dengan ibunya
1. Anak terhadap ayahnya, menurut KUHPer seorang anak luar kawin baru mempunyai hubungan darah dengan ayahnya kalau sang ayah mengakuinya secara sah
KONSEPSI PERKAWINAN
Konsepsi, diartikan sebagai sistem hukum yang dipakai / sistem hukum tertentu. Sistem hukum tsb berbeda, hal tsb tergantung dari :
1. pandangan hidup
2. karakter
3. cara berpikir penganut sistem (negara/bangsa)
Perbedaan sistem hukum konsepsi perkawinan dalam sistem KUHPer/BW dan UU No. 1 tahun 1974 adalah :
1 Konsepsi perkawinan menurut KUHPer, hanya dipandang dari segi keperdataannya saja. Artinya, UU melihat perkawinan itu sah dan syarat – syaratnya menurut UU dipenuhi. Yang dilihat hanya faktor yuridis sesuai dengan Pasal 26 KUHPer.
2. Konsepsi perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974, dapat dlihat dalam pasa 1 UU no.1/1974. Yang berisi :
Perkawinan adalah :
- ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang wanita
- sebagai suami istri yang bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
- berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
III. Penutup
Sebagai penutup pemaparan makalah tentang hukum perkawinan ini kami berharap banyak manfaat yang dapat kita ambil dan juga saran serta masukan dari semua pihak selalu kami nantikan demi tercapainya suatu hal yang baik serta tidak melanggar hukum.











Kepustakaan :
• Pokok-Pokok Hukum Perdata (Prof. Subekti, SH)
• Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat( Dr.Wienarsih Imam Subekti, SH,MH, Sri Soesilowati Mahdi, SH)


























Hak dan kewajiban suami-isteri
Suami-isteri harus setia satu sama lain, bantu-membantu, berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama- sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang dipandang sebagai suatu "perkumpulan"(echtvere niging). Suami ditetapkan menjadi kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan mereka bersama di samping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya memberikan bantuan(bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini,
berhubungan dengan ketentuan dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seorang perempuan yang telah kawin tidak cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaan seorang suami di dalam perkawinan itu dinamakan "maritale macht" (dari bahasa Perancism ari = suami).
Pengurusan kekayaan si isteri itu, oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya ("afe een goed huisvader") dan si isteri dapat minta pertanggunganjawab tentang pengurusan itu. Kekayaan suami untuk ini menjadi jaminan, apabila ia sampai dihukum mengganti kekurangan-kekurangan atau kemerosotan kekayaan si isteri yang terjadi karena kesalahannya. Pembatasan yang terang dari kekuasaan suami dalam hal mengurus kekayaan isterinya, tidak terdapat dalam undang-undang, melainkan ada suatu pasal yang menyatakan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda yang tak bergerak kepunyaan si isteri tanpa izin dari si isteri (pasal 105 ayat 5 B.W.). Meskipun begitu, sekarang ini menurut pendapat kebanyakan ahli hukum menjual atau menggadaikan barang-barang yang bergerak dengan tidak seizin si isteri juga tak diperkenankan apabila melampaui batas pengertian "mengurus" ("beheren").
Jikalau suami memberikan bantuan(bijstand), suami-isteriItu bertindak bersama-sama : si isteri untuk dirinya sendiri dan si suami untuk membantu isterinya. Jadi mereka itu bersama-sama, misalnya pergi ke notaris atau menghadap Hakim. Menurut pasal 108 bantuan itu dapat diganti dengan suatu persetujuan tertulis. Dalam hal yang demikian, si isteri dapat bertindak sendiri dengan membawa surat kuasa dari suami. Perlu diterangkan, bahwa perkataan aete dalam pasal 108 tersebut, tidaklah berarti surat atau. tulisan, melainkan
berarti "perbuatan hukum". Perkataan tersebut berasal dari bahasa Perancis, "aete" yang berarti perbuatan.
Ketidakcakapan seorang isteri itu, di dalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas (pasal 1330); seorang perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang yang berada di bawah curatele atau seorang yang belum dewasa. Mereka ini semuanya dinyatakan "tidak cakap" untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi
perbedaannya masih ada juga, yaitu seorang isteri bertindak sendiri (meskipun didampingi oleh suami atau dikuasakan), sedangkan orang yang belum dewasa atau seorang curandus tidak pernah tampil ke muka dan selalu harus diwakili oleh orang tua, wali atau kurator.
Teranglah, bahwa sang suami selalu berhak untuk mempermaklumkan kepada orang-orang pihak ketiga, bahwa ia tidak mengizinkan isterinya untuk bertindak sendiri meskipun mengenai hal-hal dalam lapangan rumah-tangga itu.
Bantuan suami juga tidak diperlukan, apabila si isteri dituntut di depan hakim dalam perkara pidana, begitu pula apabila si isteri mengajukan gugatan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian atau pemisahan kekayaan, atau ia sendiri digugat oleh suaminya untuk mendapat perceraian.
Akibat-akibat lain dari perkawinan :
1)anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak sah
(wettig);
2)suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya,
apabila salah satu meninggal di dalam perkawinan;
3)oleh undang-undang dilarang jual beli antara suami dan
isteri;
4)perjanjian perburuhan antara suami dan isteri tak di-
bolehkan;
5)pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehkan
antara suami-isteri;
6)suami tak diperbolehkan menjadi saksi di dalam suatu
perkara isterinya dan sebaliknya;
7)suami tak dapat dituntut tentang beberapa kejahatan terhadap isterinya dan begitu sebaliknya (misalnya pencurian).
3. Percampuran kekayaan, sejak mulai perkawinan terjadi, suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan isteri (algehele gemeenschap van goederen), jikalau tidak diadakan perjanjian apa-apa, keadaan yang demikian itu berlangsung seterusnya dan tak dapat diubah lagi selama perkawinan. *) Jikalau orang ingin menyimpang dari peraturan umum itu, ia harus meletakkan keinginannya itu dalam suatu "perjanjian perkawinan"(huw elijksvoorw aarden). Perjanjian yang demikian ini, harus diadakan sebelumnya pernikahan ditutup dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris. Juga keadaan sebagaimana diletakkan dalam perjanjian itu, tak dapat diubah selama perkawinan. Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan "gemeenschap."
"Si isteri di dalam perkawinan, ia juga diberikan hak untuk, ipabila perkawinan dipecahkan, melepaskan haknya atas kekayaan bersama ("afstand doen van de gemeenschap"). Tindakan ini bermaksud untuk menghindarkan diri dari penagihan hutang-hutang gemeenschap, yaitu hutang bersama, baik hutang itu telah diperbuat oleh suami maupun oleh si isteri sendiri. Menghindarkan
diri dari penagihan hutang pribadi tentu saja tak mungkin.
Pasal 140 ayat 3, mengizinkan untuk memperjanjikan di dalam perjanjian perkawinan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan benda-benda atas nama yang jatuh dalam gemeenschap dari pihak si isteri dengan tiada izin si isteri.
Si isteri dapat diberi kekuasaan oleh hakim untuk menjual atau enggadaikan benda-benda gemeenschap dalam hal suaminya sedang bepergian atau tidak mampu memberikan izinnya, misalnya karena sakit keras atau gila. Jadi tidak apabila si suamiItu tidak mau memberikan izinnya, dalam hal ini isteri tak dapat berbuat apa- apa. Dan kepada hakim itu harus dibuktikan tentang adanya
keperluan yang mendadak untuk menjual benda itu. Tanggung jawab terhadap hutang-hutang. Jikalau suami ataupun isteri, tidak mempunyai benda-benda
pribadi (prive-goederen), soal tanggung jawab ini mudah saja, akan tetapi itu menjadi agak sulit bila salah seorang di antaranya di samping benda gemeenschap mempunyai pula benda prive. Orang dikatakan bertanggung jawab, jika ia dapat dituntut di depan hakim, sedangkan bendanya dapat disita.
Untuk menetapkan tanggung jawab mengenai sesuatu hutang, haruslah ditetapkan lebih dahulu, apakah hutang itu bersifat prive ataukah suatu hutang untuk keperluan bersama(gem eenscha psschuld).
Untuk suatu hutang prive harus dituntut suami atau isteri yang membuat hutang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive. Apabila tidak terdapat benda prive atau ada, tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita pula. Akan tetapi, jika suami yang membuat hutang, benda prive si isteri tak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.
Bagaimana halnya dengan hutang gemeenschap?
Gemeenschap itu berakhir dengan berakhirnya perkawinan, yaitu :
a)dengan matinya salah satu pihak,
b)dengan perceraian,
c)dengan perkawinan baru sang isteri, setelah ia mendapat izin hakim, yaitu apabila suami bepergian sampai sepuluh tahun lamanya tanpa diketahui alamatnya.
d)diadakan "pemisahan kekayaan" dan perpisahan meja dan tempat tidur.
Apabila salah satu pihak meninggal dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang ditinggalkan diwajibkan dalam waktu tiga bulan membuat suatu pencatatan tentang kekayaan mereka bersama. Pencatatan ini dapat dilakukan secara authentiek maupun di bawah tangan dan harus diserahkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Bagaimana halnya dengan pertanggungan jawab terhadap hutang-hutang gemeenschap, setelahnya gemeenschap dihapuskan? Ini dapat disimpulkan dalam peraturan-peraturan berikut :
1)Masing-masing tetap bertanggung jawab tentang hutang- hutang yang telah dibuatnya.
2)Di samping itu si suami masih dapat dituntut pula tentang hutang-hutang yang telah dibuat oleh si isteri.
3)Si isteri dapat dituntut untuk separoh tentang hutang- hutang yang telah dibuat oleh si suami.
4)Sehabis diadakan pembagian, tak dapat lagi dituntut tentang hutang yang dibuat oleh yang lain sebelumnya perkawinan.
4. Perjanjian perkawinan
Jika seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden).
Bagi seorang yang kawin ada empat macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya, yaitu :
a)karena kekayaannya sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan kekayaan suami atau isteri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan percampuran
kekayaan. Cara perolehan ini dinamakan"boedel menging";
b)karena ia menerima pemberian-pemberian suami atau isteri dalam perjanjian perkawinan;
c) karena ia mendapat warisan menurut undang-undang dari kekayaan suami atau isterinya;
d)karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suami atau isterinya.
5. Perceraian
Perkawinan hapus, jikalau satu pihak meninggal. Selanjutnya ia hapus juga, jikalau satu pihak kawin lagi setelah mendapat izin
hakim, bilamana pihak yang lainnya meninggalkan tempat tinggalnya hingga sepuluh tahun lamanya dengan tiada ketentuan nasibnya. Akhirnya perkawinan dapat dihapuskan dengan perceraian.
Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan permufakatan saja antara suami dan isteri, tetapi harus ada alas an yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a)zina (overspel);
b)ditinggalkan dengan sengaja (kwaadwillige verlating);
c)penghukuman yang melebihi 5 tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan dan
d)penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (pasal 209 B.W.).
Undang-undang Perkawinan menambahkan dua alasan, untuk salah satu pihak mendapat cacat badan/penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri, antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan/pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (pasal 19 PP 9/1975).
Tuntutan untuk mendapat perceraian diajukan kepada hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, tetapi harus didahului dengan meminta izin pada Ketua Pengadilan Negeri untuk menggugat. Sebelum izin ini diberikan, hakim harus lebih dahulu mengadakan percobaan untuk mendamaikan kedua belah pihak
(verzoeningscomparitie).
Larangan untuk bercerai atas permufakatan, sekarang ini sudah lazim diselundupi dengan cara mendakwa si suami telah berbuat zina. Pendakwaan itu lalu diakui oleh si suami. Dengan begitu alasan sah untuk memecahkan perkawinan telah dapat "dibuktikan" di muka hakim.
Kepada si isteri, jika ia tidak mempunyai penghasilan cukup dan kepada anak-anak yang diserahkan pada si isteri itu oleh hakim dapat ditetapkan tunjangan nafkah yang harus dibayar oleh suami tiap waktu tertentu. Permintaan untuk diberikan tunjangan nafkah ini oleh si isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatannya untuk mendapatkan perceraian atau tersendiri. Penetapan jumlah tunjangan oleh hakim diambil dengan mempertimbangkan kekuatan
dan keadaan si suami. Apabila keadaan ini tidak memuaskan dapat mengajukan permohonannya supaya penetapan itu oleh hakim ditinjau kembali. Adakalanya juga, jumlah tunjangan itu ditetapkan sendiri oleh kedua belah pihak atas dasar permufakatan. Juga diperbolehkan untuk merubah dengan perjanjian ketentuan-ketentuan mengenai tunjangan tersebut yang sudah ditetapkan dalam keputusan hakim. Jikalau seorang janda kawin lagi, ia kehilangan haknya untuk menuntut tunjangan dari bekas suaminya.
Perceraian mempunyai akibat pula, bahwa kekuasaan orang
tua (ouderlijke macht) berakhir dan berubah menjadi "perwalian"
(voogdij).
6. Pemisahan kekayaan
Pemisahan kekayaan itu dapat diminta oleh si isteri :
a)apabila si suami dengan kelakuan yang nyata-nyata tidak baik, mengorbankan kekayaan bersama dan membahayakan keselamatan keluarga;
b)apabila si suami melakukan pengurusan yang buruk terhadap kekayaan si isteri, hingga ada kekhawatiran kekayaan ini akan menjadi habis;
c)apabila si suami mengobralkan kekayaan sendiri, hingga si isteri akan kehilangan tanggungan yang oleh Undang-undang diberikan padanya atas kekayaan tersebut karena pengurusan yang dilakukan oleh si suami terhadap
kekayaan isterinya.
Gugatan untuk mendapatkan pemisahan kekayaan, harus diumumkan dahulu sebelum diperiksa dan diputuskan oleh hakim, sedangkan putusan hakim ini pun harus diumumkan. Ini untuk menjaga kepentingan-kepentingan pihak ketiga, terutama orang-prang yang mempunyai piutang terhadap si suami. Mereka itu dapat mengajukan perlawanan terhadap diadakannya pemisahan kekayaan.
Selain membawa pemisahan kekayaan, putusan hakim berakibat pula, si isteri memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaannya sendiri dan berhak mempergunakan segala penghasilannya sendiri sesukanya. Akan tetapi, karena perkawinan belum diputuskan, ia masih tetap tidak cakap menurut undang-
undang untuk bertindak sendiri dalam hukum.
Pemisahan kekayaan dapat diakhiri atas persetujuan kedua belah pihak dengan meletakkan persetujuan itu dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan sama seperti yang ditentukan untuk pengumuman putusan hakim dalam mengadakan pemisahan itu
  • 0 komentar:

    • Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me